Nama saya SJ, dahulu setiap harinya saya bekerja di menara utara WTC
  New York, atau juga disebut Tower 1, pada lantai 81. Sedangkan istri
  saya bekerja di Tower 2, atau menara selatan, pada lantai 71.
  Setelah tiba di kantor pagi itu, saya mengirim renungan pada seorang
  teman. Pada pukul 08.45, setelah saya selesai mengirim beberapa
  dokumen melalui faks dan kemudian kembali ke meja kerja saya,
  tiba-tiba terdengar ledakan sangat dahsyat yang mengagetkan semua
  orang di tempat itu. Material dari atap berjatuhan dan seluruh
  peralatan kantor berhamburan. Saat itu saya tidak mengetahui kalau
  ada sebuah pesawat yang menabrak gedung saya yang hanya berbeda dua
  lantai. Yang saya ketahui hanyalah api mulai muncul di mana-mana.
  Yang selamat berusaha tetap tenang dan menuju ke tangga darurat.
  Sepanjang perjalanan turun melalui tangga darurat, saya mencoba
  menghubungi telepon genggam istri saya, namun tidak dapat
  tersambung, sehingga membuat saya sangat khawatir. Pada perjalanan
  turun yang penuh dengan jeritan dan tangisan orang yang panik,
  tiba-tiba ratusan polisi dan pemadam kebakaran menyerbu naik ke atas
  untuk menolong mereka yang terperangkap, sehingga kami harus berbagi
  jalan dan perjalanan itu menjadi lambat. Tidak ada satu pun dari
  para pria pemberani itu yang selamat kembali ke rumah dan bertemu
  keluarganya lagi.
  Sampai di bawah, suasananya lebih mengerikan lagi, puing-puing yang
  berjatuhan menimpa beberapa orang sekitar saya. Orang-orang jatuh
  melompat dari atas gedung dan tubuhnya hancur, sehingga keadaannya
  lebih mengerikan dari sebuah perang.
  Secara refleks, saya berjalan menuju ke Tower 2 yang ternyata juga
  mendapatkan musibah yang sama. Tiba-tiba terdengar suara ledakan
  yang sangat keras. Seluruh gedung itu runtuh. Saya dan banyak orang
  berdiri dekat sekali dengan gedung itu. Segera debu menerjang dan
  menutupi pandangan saya, diikuti terjangan batu, besi, dan berbagai
  material lain terbang berdesing di sekitar saya. Saat itu suasananya
  sangat mengerikan, terdengar jeritan-jeritan orang-orang yang
  terkena reruntuhan.
  Saya berdoa minta kekuatan pada Tuhan untuk menghadapinya, karena
  dalam setiap satu detik ke depan, saya mungkin korban selanjutnya.
  Lalu Tuhan memberikan saya damai luar biasa yang melingkupi saya.
  Saat itu, ketika kematian ada di depan kami, saya berteriak dan
  bertanya pada orang-orang sekitar saya. "Kita semua akan mati
  sekarang ... kalau ada di antara kalian yang belum menerima Yesus
  sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi kalian, panggilah nama-Nya
  dan terimalah Dia sekarang!"
  Mereka semua menangis dan berteriak: "Yesus ... Yesus ...!"
  Kemudian, setelah terjangan itu selesai, terdengar erangan di
  sekitar saya. Debu yang tebal perlahan menipis, dan saya dapat
  melihat sekitar satu meter di sekeliling saya. Saya coba berjalan,
  dan menemukan banyak orang di sekitar saya telah mati akibat
  terjangan tersebut. Kemudian saya melihat sebuah cahaya, seperti
  Tuhan sendiri yang menuntunnya, dan saya mendekatinya.
  Ternyata itu adalah cahaya senter dari seseorang yang sedang
  terbaring, namun masih hidup. Saya berkata kepadanya, jika ia
  percaya, Yesus sanggup menyelamatkannya, maka ia akan selamat.
  Dengan lemah orang itu mengiyakan. Kemudian saya membantunya
  berdiri, dan saya terkejut karena di belakang jaket yang
  dikenakannya tertulis FBI, dengan huruf besar dan mencolok. Kami
  berdua kemudian berusaha keluar dari debu tebal itu, sambil
  tersandung orang-orang yang telah mati. Saya berdoa, Tuhan tunjukkan
  jalan keluar dari tempat itu, jangan sampai kami justru kembali ke
  arah gedung itu, karena kami kehilangan arah. Kemudian saya melihat
  sebuah cahaya, yang ternyata adalah cahaya sirine dari sebuah
  ambulans. Karena ambulans itu diparkir di pinggir jalan, kami dapat
  menemukan jalan raya, dan menuntun kami keluar dari debu tebal itu.
  Sebuah regu tim penyelamat langsung menjemput kami setelah keluar
  dari debu tebal itu, suasana di tempat itu begitu kacau. Ada begitu
  banyak korban dan jerit kesakitan. Setelah ada di tempat yang aman,
  saya mencoba lagi menelepon istri saya. Namun, teleponnya tetap
  tidak bisa tersambung. Saya memikirkan kemungkinan-kemungkinan jelek
  yang akan saya hadapi, dan kenangan manis kami bersama
  terbayang-terbayang. Istri saya sedang mengandung 4 bulan. Saya
  menangis tersedu-sedu sambil terus berusaha terus meneleponnya.
  Sore harinya, setelah saya berhenti berusaha meneleponnya, dan
  sedang terpukul dengan kesimpula bahwa saya kehilangan istri saya,
  tiba-tiba telepon saya berdering, dan itu dari istri saya. Saat saya
  mengangkatnya, suaranya begitu panik karena menyangka saya telah
  mati. Ternyata pagi itu ia terlambat pergi ke kantor karena kereta
  yang ditumpanginya berhenti. Kejadian runtuhnya menara membuat
  kereta itu berhenti lebih lama lagi. Karena ada di bawah tanah,
  tentu saja sinyal telepon genggamnya tidak ada. Kami berdua selamat!
  Ucapan syukur saya sangat luar biasa saat itu!
  Sejak peristiwa itu, kini saya melayani Tuhan sepenuh waktu dan
  menjadi misionaris di India. Dan setiap hari saya menanyakan kepada
  orang-orang pertanyaan yang sama, seperti yang ingin saya tanyakan
  pada Saudara saat ini. Orang-orang yang berteriak "Yesus ... Yesus
  ..." pada peristiwa itu, mereka tidak punya waktu lagi. Anda,
  sementara Anda masih hidup dan belum terlambat, maukah Anda menerima
  Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi Anda?
  Diambil dan disunting seperlunya dari:
  Nama majalah: VOICE Indonesia, Vol. 86/2006
  Penulis: SJ
  Penerbit: Communication Department Full Gospel Business's Men
            Fellowship International -- Indonesia dan Yayasan Usahawan
            Injil Sepenuhnya Internasional (PUISI), Jakarta 2006
  Halaman: 32 -- 34